Filsafat
Egoisme Max Stirner Sebagai Kritik Terhadap Humanisme Feuerbach

Egoisme Max Stirner Sebagai Kritik Terhadap Humanisme Feuerbach

Proyek emansipasi yang berorientasi pada pelepasan diri dari kerangkeng Tuhan dan keterasingan, seperti yang dilakukan oleh Fuerbach dalam “The Essence of Christianity”, Fuerbach melakukan kritik terhadap kekristenan. Dalam situasi yang dipenuhi dogma agama dan abstraksi Tuhan tersebut, akhirnya Fuerbach dapat menemukan manusia sebagai esensi dari segalanya—peralihan dari teologis ke antropologis.

Pada fase ini, Feuerbach telah berhasil untuk menitikberatkan manusia sebagai suatu makhluk yang sempurna. Tuhan telah duturunkan dari kastanya, manusia kini kembali dalam kondisi idealnya. Karena bagi Feuerbach, sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, tidak lain adalah sifat manusia itu sendiri. Bahkan manusia lebih mulia daripada Tuhan, karena manusia memiliki Rasionalitas dan Moralitas, yang mana sifat tersebut tidak dimiliki oleh Tuhan.[1]

Diskursus mengenai humanisme terus berjalan tanpa henti, diujung persimpangan jalan Stirner kemudian hadir dengan pandangannya yang terbalik. Dalam tulisannya yang berjudul “Der Einzige und Sein Eigentum”, Stirner mengatakan bahwa manusia yang konkret adalah manusia yang tidak memiliki esensi, manusia yang konkret adalah yang tidak dilabeli oleh predikat, atau manusia adalah mahluk yang tidak dapat dikategorikan pada apapun.[2] Lantas bagaimana Stirner dapat menarik kesimpulan pada titik terjauh mengenai penfsirannya tentang manusia, yang secara signifikan justru bertentangan dengan pengertian manusia yang dikatakan oleh Feuerbach?

Pembahasan

A. Selayang Pandang Tentang Humanisme Feuerbach

Humanisme adalah konsekuensi logis daripada hasil pemberontakan kaum rasionalis terhadap Kristen pada masa Abad Pencerahan. Salah satu tokoh ternama yang berusaha melanggengkan tradisi Abad-Pencerahan dengan teori Humanisme adalah Ludwig Feuerbach. Secara ringkas, teori yang coba ditunjukan oleh filsuf yang akrab disebut Feuerbach ini adalah proyeksi “Pembunuhan Tuhan”, dengan kata kunci bahwa Tuhan tidak lain hanyalah hasil proyeksi pemikiran manusia, yang bersifat spekulatif dan imajiner.[3]

Namun jauh sebelum pada kesimpulan tersebut, Feuerbach mencoba untuk mengamati terlebih dahulu mengenai kesadaran yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, dengan tekad mengembalikan derajat manusia sebagai mahluk yang rasional, dan semangat untuk membuktikan bahwa realitas yang nampak adalah sesuatu yang nyata. Akhirnya Feuerbach mengemukakan sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa kesadaran manusia ada dalam situasi keterbatasan untuk memuaskan dirinya sendiri.[4]

Menurut Feuerbach, dalam situasi keterbatasan-diri ini, manusia dapat dengan mudah untuk berspekulasi. Spekulasi dalam situasi ini adalah, alih-alih mewujudkan predikat yang melampaui dirinya, lalu merubah predikat tersebut menjadi suatu subjek, dan berakhir pada peng-objektifikasian atau eksternalisasi, dengan hasil objek yang saat ini sering disebut sebagai “Tuhan”. Disinilah pertama kalinya Tuhan dapat muncul, sebagai hasil dari pengerjaan Logika Spekulatif tersebut, [5]

Maka dari itu, sederhananya, Feuerbach memiliki tendensi dan doktrin yang berusaha untuk menitikberatkan manusia. Bagi Feuerbach, manusia yang ideal adalah mahluk yang rasional, karena sebenarnya semua predikat yang dimiliki oleh Tuhan adalah esensi pada manusia.

B. Selayang pandang Egoisme Stirner

Menurut beberapa penafsir (orang-orang bodoh), mereka menjelaskan bahwa Egoisme adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang di sebut “Ego”, dan seorang Egois adalah mereka yang percaya akan hal ini. Namun, dengan penuh tawa, Stirner menolak hal tersebut. Stirner lebih suka apabila Egoisme bertindak sebagai pusat segalanya, sebagai situasi dimana seseorang yang secara sadar mengahadapi dunia dengan mementingkan kepentingan dirinya sendiri atau bahkan lebih unik lagi, dan Egois tidak lain ialah seseorang yang mengakui dirinya seperti itu.[6]

Egoisme diambil dari bahasa latin yaitu “Ego”, yang memiliki arti “Aku”. Karena, bagi Stirner, setiap individu disekitar kita memiliki ego, ataupun dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri.[7] Hal ini dapat diperkuat oleh pendapat beberapa para psikolog yang mengemukakan bahwa, benar, manusia bertindak untuk kepentingan mereka sendiri.[8] Ataupun pendapat filsuf empirisme yang bernama Thomas Hobbes, dia mengatakan bahwa manusia adalah mahluk anti sosial yang sibuk pada pemeliharaan-diri, atau manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.[9]

Lalu, apakah Egoisme hadir sebagai pertentangan dari Altruisme? Dengan tegas dapat dikatakan, tidak. Untuk mengantisipasi ambigusitas Egoisme, kita dapat merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh James L. Walker, yang berbicara mengenai; Egoisme adalah teori tentang kehendak sebagai reaksi diri dari suatu motif.[10]  Bagi James, motif adalah pengaruh—apapun—yang bekerja dalam diri kita, sekaligus menyebabkan perubahan dalam diri kita. Yang dimana pada proses tersebut, diri kita bereaksi untuk menangkap segala sesuatu yang berkontribusi pada kesenangan, atau mininggalkan segala sesuatu yang mengancam ketidaknyamanan.[11] Maka, apabila menggunakan perumpamaan tersebut, Egoisme sama sekali tidak memiliki tendensi negatif atau secara signifikan bertentangan dengan prinsip Altruisme.

Dalam pemaparan Stirner sekalipun, Egoisme hanya hadir sebagai penolakan terhadap segala bentuk keterasingan-diri, dan Egoisme hanya tidak ingin keunikan setiap individu direduksi oleh ide tetap, sakralitas, atau prinsip-prinsip yang dipaksakan. Sebagai contoh, apabila ada seorang yang mengakui dirinya sebagai egois, lalu seorang tersebut mengorbankan dirinya untuk orang lain, maka bisa dipastikan bahwa seorang tersebut sebenarnya sedang memenuhi kepentingan dirinya sendiri, yang sama sekali bukan atas nama kemanusiaan, kebaikan, kebenaran, atau segala sesuatu yang diluar dirinya[12]

C. Humanisme dalam Pandangan Egoisme

Dalam teori Egoisme; Tuhan, Moral, Negara, Ideologi dan yang lainnya, disebut sebagai “Spook” atau abstraksi ideologis, yang mana semua itu akan ada karena kita mengizinkannya untuk ada.[13] Lalu, dalam menghadapi masalah ini, sama halnya dengan Feuerbach, Stirner juga berusaha menegasi segala bentuk abstraksi ideologis yang baginya berpotensi untuk menundukan setiap individu tersebut.

Dapat dikatakan, dalam tahap awal, Feuerbach sudah cukup tangguh untuk membunuh Tuhan dalam teorinya, dengan menganggap Tuhan hanya sebagai proyeksi pemikiran manusia, dan sebagai sumber permasalahan dari keterasingan diri (alienasi). Lalu, setelah itu, Feuerbach mencoba menarik perdikat atau kualitas tuhan yang Maha-Pengasih dan Maha-Kuasa ini untuk menjadi esensi pada diri manusia sepenuhnya.

Namun pada tahap ini, menurut Stirner, teori yang coba dikemukakan oleh Feuerbach, hanya menempatkan manusia untuk menjadi sakral (Manusia yang menjadi Maha-Pengasih dan Maha-Kuasa), yang mana hal ini menurut Stirner, sama sekali tidak melepaskan individu dari belenggu yang mengekangnya. Disinilah situasi yang menjadi sasaran empuk bagi Stirner untuk mengolok-olok teori Feuerbach tentang humanisme-nya.

Stirner mengatakan bahwa Feuerbach telah mencipatakan tuhan baru dalam teorinya, dengan tuhan yang bernama “Manusia”.[14] Stirner menganggap bahwa Feuerbach adalah seorang ateis yang saleh.  Karena dalam teorinya, Feuerbach tidak pernah melepaskan Tuhan sepenuhnya, dia hanya menggantikannya dengan Manusia. Teori Humanisme ini adalah sebuah proyeksi agama pembaharu setelah Kristen. Karena sebenarnya, Feuerbach hanya menggantikan posisi tuhan yang abstrak dengan tuhan yang material.[15]

Ditambah ketika Feuerbach menekankan pendapatnya, dengan berkata bahwa “Predikat tuhan sebenarnya adalah esensi manusia”. Disini Stirner berusaha untuk mempertanyakan kembali mengenai pendapat yang telah dikemukakan oleh Feuerbach tadi.  Dengan pertanyaan “Apa sebenarnya esensi manusia ini?” Bagi Stirner, jawabannya tidak lain adalah moralitas, karena pada posisi ini, Feuerbach melihat manusia pada kualitas kebaikan dan kemampuan berpikir sebagai esensinya. Feuerbach juga membagi kedalam dua kategori mengenai esensi manusia tersebut, yaitu Mensch; sebagai manusia sejati, dengan Unmensch; sebagai monster yang tidak manusiawi.[16] Manusia sejati atau Mensch adalah mereka yang mempunyai perasaan, mereka yang dapat berfikir rasional, atau mereka yang memiliki dorangan untuk berbuat kebaikan, sedangkan Unmensch adalah mereka yang sebaliknya, monster yang tidak bermoral dan penuh keegoisan.[17]

Stirner menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa setiap manusia itu berbeda, baik secara karakteristik, prinsip, atau bahkan biologis. Lalu Stirner mengatakan “Aku sebenarnya adalah seorang manusia, sekaligus monster yang tidak manusiawi itu; karena aku seorang manusia, dan pada saat yang sama aku lebih dari seorang manusia; aku adalah aku yang tidak lebih dari kualitasku”.[18] Bagi Stirner, tidak ada yang patut di generalisasi dengan mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang bermoral secara esensial. Karena bagi Stirner, setiap individu adalah Unik, atau yang tidak dapat dideskripsikan. Maka dari itu, Stirner dengan olokannya mengatakan bahwa Feuerbach hanyalah pencuri moralitas, yang pada awalnya dimiliki oleh Agama, lalu diganti menjadi moralitas Kemanusiaan,[19]

Maka, bagi Stirner, Feuerbach telah gagal dalam aksi pembunuhan tuhan, Feuerbach terjebak dalam spekulasi dirinya sendiri. Feuerbach menciptakan Ilusi baru dalam teorinya. Humanisme tidak lain adalah sebuah distorsi dari Agama Kristen.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada pembahasan, egoisme bergerak untuk memenuhi kepentingan diri kita sendiri. Ego atau aku adalah pusat segalanya, sebagai bentuk individu unik yang menegasi segala sesuatu yang menyebabkan keterasingan diri. Sedangkan Humanisme adalah doktrin yang mencoba menitikberatkan manusia untuk menjadi mahluk yang sempurna, dengan menjadikannya rasional dan bermoral.

Lalu Egoisme hadir sebagai negasi terhadap humanisme, karena dalam konsep humanisme yang coba diungkapkan oleh Feuerbach adalah pengeksklusian terhadap individu yang tidak dapat mencapai kesempurnaan tersebut. Bagi Stirner, humanisme hanyalah distorsi keagamaan, yang membawa semangat liberalisme dan sikap otoritarian. Karena membuat setiap individu untuk tunduk dibawah otoritas absolutisme rasionalitas dan Moralitas.

Daftar Pustaka

Feuerbach, Ludwig. The Essence of Christianity. Terj. George Eliot. 1841.

Golsank. Bagaimana egoisme Memandang Individualisme? Okupasiruang, 2021.

Hardiman, F. Budi. Humanisme dan Sesudahnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

—. Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Yogyakarta: PT Kanisius, 2019.

Harper, Clifford. Anarki Panduan Grafis. Terj. Reyhard Rumbayan. Penerbit Daun Malam, 2017.

Hasiholan, Xaverius Chandra. “Tuhan Menurut Ludwig Feuerbach.” Jurnal Filsafat Arete Vol. 6, No. 1 (2017).

Islam, Raja Cahaya. “Subjek Politik Max Stirner.” Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol. 5, No.2 (2020).

Luduena, Fabian and Raja Cahaya Islam. Spektrografi Politik Max Stirner. Terj. Rifki Syarani Fachry. Public Enemy Books, 2021.

Newman, Saul. Hantu Stirner: Sebuah Kritik Ideologi Kontemporer. Terj. Golsank. Okupasiruang, 2020.

Stirner, Max and Wolfi Landstreicher. Yang Unik dan Miliknya. Terj. Ryvalen Pedja. 2021.

Stirner, Max. Kritikus Stirner. Terj. Rafqi Sadikin, Syihabul Furqon and Rafdi Naufan. Public Enemy Books, 2022.

Tadano. Egoisme itu apa? Terj. Memoardistopia. Unknown People, 2021.

Walker, James L. The Philosophy of Egoism. 1905.


[1] Raja Cahaya Islam, Subjek Politik Egois Max Stirner, Artikel pada Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 5, No. 2, 2020, Hlm. 175

[2] Ibid

[3]  F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2021, Hlm. 18

[4] Xaverius Chandra Hasisolan. Tuhan Menurut Ludwig Feuerbach, Artikel pada Jurnal Filsafat Arete, vol 6, No 1, 2017, Hlm. 1-5

[5] Ludwig Feuerbach, The Essence Of Chirstiani, (Terjemahan  George Elliot), 1972, Hlm. 78

[6] Max stirner dan Wolfi Landstreicher, Yang Unik dan Miliknya, (Terjemahan Ryvalen Pedja), 2020, Hlm. 24

[7] Tadano, Egoisme Itu Apa?, (Terjemahan Memoardistopia), Unknow People, 2021, Hlm. 3

[8] Golsank, Loc. Cit.

[9] F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Yogyakarta: PT Kanisuis, 2019, Hlm. 70-71

[10] James L. Walker,  The Philosophy of Egoism, 1905, Hlm. 6

[11] Ibid.

[12] Tadano, Op. Cit. Hlm. 4

[13] Saul newman, Hantu Stirner: Sebuah Kritik Ideologi Kntemporer, (Terjemahan Golsank) Okupasiruang, 2020, Hlm. 42

[14] Max stirner dan Wolfi Landstreicher,  Op. Cit. Hlm. 97

[15] Saul newman, Op. Cit. Hlm. 30

[16] Max stirner dan Wolfi Landstreicher,  Op. Cit. Hlm. 25

[17] Max stirner dan Wolfi Landstreicher,  Op. Cit. Hlm. 210-211.

[18] Max stirner dan Wolfi Landstreicher,  Op. Cit. Hlm. 255.

[19] Saul newman, Op. Cit. Hlm. 40.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *