Keislaman
Analisis Hermeneutika Hassan Hanafi; Kontekstualisasi Al-Qur’an Sebagai Alat Pembebasan.

Analisis Hermeneutika Hassan Hanafi; Kontekstualisasi Al-Qur’an Sebagai Alat Pembebasan.

Al-Qur’an merupakan pegangan dan pedoman umat Islam. Melalui Al-Qur’an umat Islam diberikan petunjuk-petunjuk kebajikan untuk menjawab segala persoalan kehidupan. Interpretasi dan kesadaran manusialah yang menjadikan Al-Qur’an menjadi lebih bermakna, oleh karena itu Al-Qur’an berfungsi bukan hanya sekedar dibaca dan dihafal dengan baik, akan tetapi lebih dari itu kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan isi didalamnya juga patut kita mengerti secara seksama. Sebagai bentuk realisasi dalam makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam, maka dipandang perlu adanya kontekstualisasi Al-Qur’an salah satunya melalui pendekatan hermeneutik, khusus nya melalui pendekatan Hermeneutik Hasan Hanafi.

Hermeneutika sebagai metode pemahaman biasa nya seringkali diterapkan untuk pembahasan ilmu-ilmu kemanusiaan yang objeknya adalah ekspresi kehidupan melalui konsep, tindakan dan penghayatan manusia. Oleh sebab itu kegiatan hermeneutika selalu bersifat triadik yang menyangkut tiga subjek yang saling berhubungan melalui the world of author (dunia pengarang), the world of text (dunia teks), dan the world of reader (dunia pembaca) yang masing-masing memiliki titik pusaran nya sendiri dan saling mendukung dalam memahami teks, dalam kapasitasnya sebagai “epistemologi pemahaman” (epistemology of understanding) tersebut.

Dalam buku Al-Turats wal tajdid Hasan Hanafi memperlihatkan karakter keberpihakan nya dalam membela hak-hak umat Islam yang golongan mayoritas yang tertindas, terkucilkan, dan terdominasi. Hasan Hanafi memberikan titik tekan kepada realitas yang ada. Maka berangkat dari sinilah pemikiran Hasan Hanafi memberikan suatu jawaban baru atas ketimpangan sosial yang dialami umat Islam melalui Hermeneutika Pembebasan atau Teologi Pembebasan.

Pembahasan

Pemikiran hermeneutika Hasan Hanafi pertama kali dikemukakan, melalui karyanya yang dipublikasi dalam Religius Dialogue and Revolution yang melihat hermeneutika sebagai Aksiomatika: sebuah analisis Islam melalui pendekatan metodologi penafsiran dan aplikasi metode penafsiranya, seperti; Pandangan Al-Qur’an terhadap kitab-kitab suci, status wanita menurut Al-Qur’an dan lain sebagainya. Dalam desertasinya Hasan Hanafi menggunakan pendeketan hermeneutika kritis emansipatoris dalam memahami fenomenologi keberagamaan, dan mengaplikasikannya dalam karyanya yang berjudul ‘La Phenomenologie de L’Exegese, esai d’une hermeneutique existentielle a partit du Nueveau Testament’ (fenomena Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) tahun 1965-1966. 38 Hasan Hanafi membangun hermeneutika menggunakan beberapa pendekatan. Seperti, Ushul fiqh, fenomenologi, marxis dan hermeneutika itu sendiri.[2]

Hermeneutika Kritis Emansipatoris

Hermeneutika kritis emansipatoris yang digagas Hasan Hanafi itu merupakan suatu ilmu yang menentukam hubungsan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab suci itu tersendiri. Dalam hal ini terdapat terdapat tiga analisis yang menjadikan langkah operasional hermeneutika tersebut, yaitu; Pertama, kesadaran historis yang menjadi titik tekan nya ialah memastikan keaslian teks yang disampaikan Nabi dalam sejarah yang berdimensi horizontal yang sifatnya historis, bukan pada dimensi vertikal yang bersifat metafisis. Yang kedua, memiliki kesadaran eidetis yang dimana sang penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada, kecuali alat untuk analisa linguistik, serta analisa konteks sejarah yang memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melingkupinya dan mampu mengeneralisasikan makna pada saat diturunkan nya ayat Al-Qur’an agar dapat mampu terkontekstualisasikan pada zaman yang akan datang. Yang ketiga, Bagi Hasan Hanafi, Hermeneutika Pembebasan adalah cara membaca Al-Qur’an untuk tujuan praktis dengan penekanan besar pada perubahan sosial. Oleh karena itu, kebenaran teoretis tidak dapat diturunkan dari argumentasi saja, tetapi lebih dari itu mampu menunjukan kemampuan untuk memotivasi tindakan. Oleh karena itu, pada tahap akhir dari proses penafsiran ini, penting bagaimana hasil penafsiran ini dapat diterapkan pada kehidupan manusia dan dapat memotivasi kemajuan dan peningkatan kehidupan manusia, Karena ini adalah tujuan akhir dari wahyu. Hal ini menunjukkan bahwa hermeneutika kritis menjalankan fungsi emansipatoris sebagai sarana memerangi berbagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam masyarakat, dan kemudian menghasilkan interpretasi perseptual (pemahaman) dari fungsi tersebut.

Dari Teks ke Aksi dengan Menggunakan Tafsir Tematik (Maudhu’i)

Tafsir Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian pemperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum. Dari hermeneutika Al-Qur’an maudhu’I ini memiliki karakteristik unggul diantaranya: mendeduksikan dan menginduksikan makna, menjadikan mufasir bukan hanya menerima makna melainkan bisa memberi makna, serta tidak hanya menganalisa tetapi mensintesiskan dan melakukan penafsiran untuk menemukan sesuatu.[3] Contoh: Penafsiran tentang konsep harta dalam Al-Qur’an, disana kata (mal) disebutkan sebanyak 86 kali dalam bentuk yang berbeda. Dalam Al-Qur’an kata mal memiliki 2 bentuk kata benda. Pertama; ghoir mudhof ila dhomir seperti al-mal, malan, al-anwal, dan al-anwalan sebanyak 32 kali. Yang kedua; mudhof ila dhomir seperti maluhu, maliah, dan amwaluhum. Sebanyak 54 kali. Yang menunjukan kekayaan dapat diluar kekayaan pribadi. [4] maka dari pandangan tersebut Hasan Hanafi mencoba membagi tiga orientasi makna mal. 1) kekayaan, kepemilikan dan pewarisan berlaku untuk tuhan bukan manusia. 2) kekayaan dititipkan oleh tuhan kepada manusia bukan untuk disalahgunakan serta bukan untuk ditimbun atau bahkan di inventariskan. 3) kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan menjadi alat yang sederhana untuk kesempurnaan manusia. Kekayaan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk kekayaan.

Kesimpulan

Dari analisis metodologis yang disampaikan Hasan Hanafi melalui hermeneutika kritis emansipatoris yang tertera dalam Al-Qur’an itu bukan lagi menjadi tempat persembunyian para kaum muslimin yang elitis dalam mempertahakan status quo kekayaan maupun teks tradisional yang bersifat dogmatis. Karena seharusnya bagi Hasan Hanafi justru Al-Qur’an harus menjadi alat pembebas bagi kaum muslimin dan menjadi alternatif baru untuk membumikan nilai-nilai khazanah keislaman yang dalam kacamata teks tradisionalis itu terlalu melangit. Khususnya dalam khazanah operasional hermeneutika yang dibangun Hasan Hanafi.

Daftar Pustaka

Roy J. Howard, Pengantar Teori-Teori Pemhaman Kontemporer; Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial dan Ontologis,Tej.Kusmanadan M.S. Nasrullah, ( Bandung: Nunasa, 2001), h. 27.

Hasan Hanafi, ad-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, (Kairo: Madbulli, 1989), h. 233

Hasan Hanafi, Islam in The Modern world , h. 487.

Hasan Hanafi, al-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, h. 123.


[1] Roy J. Howard, Pengantar Teori-Teori Pemhaman Kontemporer; Hermeneutika; Wacana Analitik, Psikososial dan Ontologis,Tej.Kusmanadan M.S. Nasrullah, ( Bandung: Nunasa, 2001), h. 27.

[2] Hasan Hanafi, ad-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, (Kairo: Madbulli, 1989), h. 233

[3] Hasan Hanafi, Islam in The Modern world , h. 487.

[4] Hasan Hanafi, al-Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, h. 123.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *