Filsafat
Immanuel Kant: Posisi Tuhan dalam Rasio Teoritis dan Rasio Praktis

Immanuel Kant: Posisi Tuhan dalam Rasio Teoritis dan Rasio Praktis

Immanuel Kant Ilustrasi.

Filsafat Transendental atau biasa juga disebut dengan kritisisme mengacu kepada tokoh yang bernama Immanuel Kant. Kant memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan filsafat baik dalam metode ataupun dampak corak filsafat setelahnya. Kant memulai filsafatnya dengan metode yang sama sekali baru dalam alam pikir filsafat, dengan transendentalismenya Kant mengawali filsafatnya dengan posisi akal menjadi hakim sekaligus terdakwa; di mana akal bertanya kepada akal itu sendiri mengenai kemampuan dan batas-batasnya.

Kant mempertentangkan metodenya ini dengan cara berpikir filsafat pendahulunya, yang baginya terjatuh ke dalam dogmatisme. Dengan kata lain, model filsafat sebelumnya menerima begitu saja kemampuan akal tanpa mempertanyakan terlebih dahulu apakah akal memiliki akses dan dapat sampai terhadap persoalan yang hendak dibahas atau tidak.

Proyek filsafat Kant sendiri merupakan formulasi dari dua aliran besar sebelumnya, yakni rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme merupakan sebuah paham yang menilai jika pengetahuan berasal dari unsur-unsur apriori, sedangkan empirisisme mengatakan sebaliknya bahwa pengetahuan berpangkal pada unsur aposteriori.

Bagi Kant, kedua aliran tersebut benar sekaligus salah, dia benar karena pengetahuan berasal dari keduanya, namun juga bersalah karena masing-masing aliran menarik kemungkinannya sampai titik radikal. Kant menilai bahwa pengetahuan itu selalu hasil dari kemenjalinan di antara unsur apriori dan
aposteriori.

Kant merupakan seorang filsuf yang hampir membahas berbagai hal sepanjang hidupnya, mulai dari filsafat, geografi, antropologi, politik hingga diskursus mengenai planet. Pada makalah ini, demi menjaga batas-batas persoalan agar tidak meluas dan kabur, penulis memfokuskan pembahasan kepada dua
buku utama Kant, Critique of Pure Reason dan Critique of Practical Reason.

Mengenal Immanuel Kant

Immanuel Kant, lahir di Konigsberg Jerman pada 1724. Konigsbreg sendiri merupakan kota kecil yang terletak di Jerman bagian timur. Dia tumbuh dalam kondisi keluarga yang miskin, ayahnya bekerja sebagai pengerajin pelana kuda. Keluarga Kant adalah penganut Pietisme, suatu ajaran Lutheran yang menanamkan prinsip-prinsip kesalehan berupa kejujuran dan kedisiplinan yang ketat. Kant sendiri, mengenyam pendidikan hingga jenjang setara dengan SMA karena mendapatkan beasiswa, kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Konisgberg, dan menjadi profesor di sana.

Seperti kebanyakan filsuf lainnya, secara garis besar kehidupan Immanuel Kant dibagi pada dua periode; periode pertama, disebut periode pra-kritis, di mana Kant masih mengikuti filsafat Leibniz versi Wolffian lewat Martin Knutzen seorang guru Kant yang paling terkenal. Sampai kemudian dia berkenalan dengan filsafat Hume, terutama pada gagasannya yang menolak kausalitas.

Empirisisme radikal Hume ini, menikam tepat di jantung ilmu pengetahuan yang sekaligus membangunkan Immanuel Kant dari tidur dogmatis-nya. Bagi Kant, skeptisisme David Hume adalah musuh besar yang harus ditentang, maka dalam periode berikutnya Kant berupaya keras membangun filsafatnya sendiri sebagai wujud penentangannya terhadap Hume. Dan, periode kedua disebut periode kritis, di mana Kant mulai membangun filsafatnya sendiri yang terekam dalam buku Critique of Pure Reason.

Pada 1781, tepat di usianya yang menginjak 57 tahun, ia menerbitkan magnum opusnya yang berjudul Critique of Pure Reason, mengubah wajah filsafat setelahnya. Buku ini merupakan upaya serius Kant untuk membuat filsafat dan metafisika dapat mencapai kemajuan secara konstan seperti ilmu pengetahuan lainnya. Kant melihat bahwa Ilmu pengetahuan melalui metodenya mendapatkan capaian luar biasa, berbeda dengan filsafat. Kant menganggap demikian karena dalam filsafat setiap gagasan baru selalu dihancurkan oleh gagasan berikutnya, dan kegiatan ini terus berulang sehingga filsafat terjatuh pada sirkularitas tak berujung.

Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang menjadikan penemuan sebagai batu loncatan terhadap penemuan berikutnya, oleh karena itu Kant berusaha menerapkan metode ilmu pengetahuan ke dalam filsafat. Dalam buku ini, tema besar yang dibawa oleh Kant adalah bagaimana pengetahuan itu mungkin?

Pada 1788, Kant berhasil merampungkan karyanya yang berjudul Critique of Practical Reason. Buku ini menawarkan pandangan Kant terkait persoalan etika, Kant mencoba membuktikan bagaimana bertindak moral itu mungkin. Idea tentang Allah yang tak mendapatkan tempat dalam pembahasan di buku sebelumnya karena tak dapat dibuktikan oleh rasio teoritis, mendapat peran vitalnya di sini. Kant menggunakan Allah sebagai salah satu dari tiga postulat untuk imperatif kategoriesnya—yang merupakan substansi ajaran etika Kant— di samping kebebasan dan immortalitas jiwa.

Kant meninggal 12 Februari 1804, di usia delapan puluh tahun. di atas nisan makam Kant terukir sebuah kalimat : “Langit berbintang di atas saya, hukum moral di dalam saya”.

Pembahasan

Pada akhir abad ke-16, seorang astronom Polandia bernama Nicolaus Copernicas tampil mempersoalkan doktrin tentang bumi sebagai pusat tata surya. Pada gilirannya, dia mencoba mengasumsikan bahwa justru mataharilah yang menjadi pusat tata surya dan mencoba membuktikannya dengan metode penalaran matematis, kemudian paham ini dikenal dengan paham heliosentrisme.

Immanuel Kant menyebut bahwa, dia membawa pembaruan semacam ini terhadap corak filsafat terutama dalam metafisika. Para pendahulunya terjatuh ke dalam dogmatisme, dengan percaya diri mempercayai kemampuan rasio yang memiliki akses langsung terhadap benda pada dirinya sendiri.

Dalam Critique of Pure Reason, Kant membahas secara mendalam pertanyaan bagaimana metafisika itu mungkin? Singkatnya, Apakah metafisika dapat menjadi ilmu pengetahuan?

Sebelum masuk mendalam pada pembahasan, Kant membedakan terlebih dahulu antara putusan analitis dan putusan sintetis. Putusan analitis adalah putusan yang predikatnya sudah terkandung dalam subjek, dengan kata lain putusan ini tidak menambahkan apapun terhadap pengetahuan. Contohnya, di antaranya; seperti semua bujangan belum menikah, atau lingkaran itu berbentuk bulat.

Sementara putusan sintetis merupakan putusan yang predikatnya tidak terkandung dalam subjek. semisalnya ; “ruangan ini dingin,”atau “kopi itu pahit,”.

Putusan analitis bersifat apriori murni dan putusan sintetis bersifat aposteriori. Persoalan yang diangkat selanjutnya sebagai skema pengetahuan adalah bentuk sintetis apriori. Lalu tugas akal budi berikutnya adalah mengetahui bagaimana sintetis apriori itu mungkin?

Kant setuju dengan para pendahulunya para penganut empirisisme bahwa pengetahuan bermula pada tataran empiris. Akan tetapi, Kant menyebut pengalaman itu tidak sepenuhnya empiris atau aposteriori. Bagi Kant, dalam setiap pengalaman selalu hadir kemenjalinan antara aposteriori dan
apriori.

Subjek dapat menyadari sesuatu fenomena yang tampak di luar dirinya, kata Kant, berkat intuisi. kemampuan menerima representasi objek ini disebut dengan sensibilitas. Menurutnya, ada dua unsur yang terkandung dalam penampakan objek, yaitu materi dan forma. Materi adalah sesuatu berhubungan dengan isi pengindraan itu sendiri, sedangkan forma adalah kondisi transendental yang memungkinkan berbagai penampakan itu hadir dalam susunan tertentu atau dalam ruang dan waktu.

Ruang waktu instrumen dalam pikiran, bukan sesuatu yang berdiri di luar benak secara otonom, konsekuensinya adalah tidak mungkin kita dapat mempersepsi benda di luar ruang dan waktu. Dalam tataran estetika transendental Kant membuktikan bahwa matematika itu mungkin sebagai
pengetahuan, karena matematika memenuhi syarat sintetis apriori. Contoh sederhananya seperti 2 + 2 = 4, empat bukanlah perluasan dari konsep dua serta bersifat informatif.

Dalam tahap Analitika Transendental, data-data indrawi diproses lebih lanjut ke dalam 12 kategories. Kant mengatakan terdapat dua fakultas dalam diri yang memiliki kemampuannya masing-masing, yaitu kemampuan sensibilitas yang menerima data-data indrawi dan kemampuan pembuatan konsep atau disebut dengan intelek.

Setiap objek yang tampak bagi kita pada akhirnya hanya berupa konstruksi dari 12 kategories, seperti kacamata berwarna biru yang senantiasa kita pakai, akibatnya setiap benda yang nampak kepada subjek menjadi warna biru. Pada 12 kategories ini melahirkan konsep Das Ding An Sich, karena benda yang tampak kepada kita telah senantiasa dikonstruk oleh 12 kategories.

Pada tataran ini, Kant membuktikan bahwa fisika itu mungkin sebagai pengetahuan karena memenuhi syarat sintetis apriori. Jika dikatakan bahwa B muncul disebabkan oleh A, atau A dan B menjadi B, apriori karena mengambil tempat dalam kausalitas apriori, dan sintetis karena di awali oleh pengamatan indrawi.

12 Kategories

Kuantitas Kualitas Realasi Modalitas
Kesatuan/Unitas Realitas Substansi Kemungkinan-Kemustahilan
Kemajemukan/Pluralitas Negasi Kausalitas Eksistensi-Non Eksistensi
Keseluruhan/Totalitas Limitasi Komunitas Keniscayaan-Kontingensi

Terakhir, putusan-putusan yang dihasilkan oleh Analitika Transendental diperluas
kemungkinannya sampai pada tataran paripurna, karena rasio berorientasi kepada sesuatu yang lebih luas. Dalam rasio, putusan diambil dan diusahakan sampai kemungkinan terjauh. Kecenderungan ini dimiliki oleh ego transendental yang bersifat Apersepsi. Apersepsi dapat diartikan sebagai persepsi atas persepsi dan menjadi jaminan atas kesatuan putusan yang dimiliki oleh subjek. Seperti dalam
konklusi silogisme induktif, di mana konklusi sudah tidak berurusan lagi dengan fenomena.

Bagi Kant, ada tiga postulat bagi rasio, pertama idea jiwa yang mencakup kesatuan segala yang berhubungan dengan subjek, selanjutnya idea dunia yang merangkum keseluruhan hubungan kausal fenomena, dan terakhir idea tuhan tentang kesatuan keseluruhan yang mungkin mulai dari fenomena dan noumena.

Kemudian, ketiga postulat inilah yang menjadi bagian dari pembahasan metafisika, Kant mengatakan bahwa metafisikatidak mungkin menjadi pengetahuan dikarekan kita tak memiliki modal pengalaman apapun atas ketigapostulat tersebut. Posisi Kant ini memiliki konsekuensi logis terhadap pendapatnya tentang Tuhan, bagi Kant, ada atau tidak adanya Tuhan itu mustahil untuk dibuktikan. Karena kita tidak memiliki modal apapun untuk berbicara tentang Tuhan, maka dari itu Tuhan tidak memiliki tempat dalam rasio teoritis Kant.

Daftar Pustaka:
Hardiman, B. (2020). Pemikiran Modern. Yogyakarta: PT Kanisius.
K Bertens, d. (2020). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius.
Palmquists, S. (2007). Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
R.O’Shea, J. (2012). Kant’s Critique of Pure Reason. Durham: Acumen Publishing Limited.
Russel, B. (2021). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.
Scruton, R. (2001). Kant: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
Sitorus, F. K. (2016). Filsafat Kritisisme Kant. Jakarta: Salihara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *