Telaah Pemikiran Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Wittgenstein merupakan salah satu filsuf yang memberikan pengaruh besar di abad 20 pada bidang filsafat bahasa, filsafat matematika, dan logika. Wittgenstein termasuk ke dalam jajaran aliran atomisme logis seperti Bertrand Russell. Ini bisa terjadi karena Wittgenstein merupakan teman dekat sekaligus murid Russell. Atas dasar ini, Wittgenstein mendapatkan banyak pengaruh dari pemikiran Russell.
Secara umum pemikiran Wittgenstein bisa dibagi menjadi dua periode. Periode pertama filsafatnya atau bisa juga disebut sebagai Wittgenstein 1 termuat dalam karyanya berjudul Tractatus Logico Philosophicus (Selanjutnya Tractacus). Periode keduanya atau bisa juga disebut sebagai Wittgenstein 2 termuat dalam karyanya berjudul Philosophical Investigations. Pada periode pertama lah Wittgenstein digolongkan ke dalam aliran atomisme logis. Oleh karena itu pembahasan kali ini akan berfokus pada Wittgenstein 1 dan pemikirannya yang termuat dalam buku Tractatus.
Tractatus merupakan karya filsafat yang diformulasikan dengan padat dan disusun berdasarkan berbagai dalil. Dalil utama ditandai dengan bilangan bulat seperti 1, 2, 3 sampai 7. Dalil utama tersebut dijelaskan oleh dalil di belakangnya yang ditandai dengan bilangan desimal seperti 1.12, 2.5, 3.141 dan seterusnya. Tractatus memuat kurang lebih 525 dalil dan memiliki 78 halaman.
Wittgenstein, sama seperti Russell, memiliki pandangan bahwa masalah-masalah filsafat bisa diatasi dan diselesaikan melalui pemahaman yang tepat atas cara kerja bahasa. Pertama-tama kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu masalah-masalah filsafat. Filsafat biasanya berkaitan dengan usaha yang bertujuan memahami manusia dan alam semesta. Secara spesifik filsafat umumnya berkaitan dengan kenyataan, pengetahuan, logika, kebenaran, keyakinan, makna dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan dalam permasalahan filsafat misalnya: Apa itu realitas? Apa yang menjadi hakikat realitas? Apa itu pengetahuan dan bagaimana cara kita memperolehnya? Bagaimana cara meyakinkan bahwa pengetahuan kita tidak keliru? Apa itu penalaran yang benar? Perilaku seperti apa yang disebut baik? Dan mengapa perilaku itu dikatakan baik?
Permasalahan-permasalahan filsafat bukanlah permasalahan yang bisa diselesaikan melalui penyeledikan empiris. Dalam arti penyelidikan menggunakan teleskop, mikroskop atau percobaan di laboratorium. Permasalahan-permasalahan filsafat berkaitan dengan penyelidikan konseptual dan logis. Atas dasar itu, banyak para filsuf telah memberikan rumusan teoretis dan konseptual dalam rangka menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Bagi Wittgenstein permasalahan-permasalahan yang muncul dalam filsafat diakibatkan oleh kesalahpahaman tentang bahasa. Oleh karena itu, tugas filsafat menurut Wittgenstein adalah: memberikan penjelasan terkait sifat atau karakteristik dari pikiran dan bahasa kita. Setelah hal itu dilakukan, maka masalah-masalah filsafat hanyalah masalah palsu yang diada-adakan (Grayling, 2001: 15-16). Tractatus merupakan hasil pemikirannya yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan filsafat dengan cara ini.
Selain itu, Tractatus secara umum berisikan penjelasan bagaimana bahasa bekerja menjelaskan stuktur logis bahasa, dan pemahaman yang menunjukan perihal batas apa-apa saja yang bisa dikatakan jelas serta bermakna dan yang tidak bermakna. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan Wittgenstein untuk merealisasikan tujuannya? Apakah upaya yang ia lakukan berhasil?
Penjelasan Tractatus
1. Tentang Dunia
Wittgenstein mengawali bukunya dengan penjelasan tentang dunia. Berikut ini tesis Wittgenstein di awal buku Tractatus (Wittgenstein, 2001: 5) :
1) The world is all that is the case (Dunia adalah semua hal yang demikian halnya dan ada juga yang menerjemahkan dengan “Dunia adalah segala hal yang terjadi”).
1.1) The world is the totality of facts, not of things (Dunia adalah kumpulan atau totalitas fakta-fakta, bukan benda-benda).
2) What is the case – a fact – is the existence of states of affairs (Apa yang demikian itu– sebuah fakta–adalah keberadaan peristiwa).
2.1) A state of affairs (a state of things) is a combination of objects (things). (Peristiwa adalah kombinasi dari objek-objek).
Dunia bukanlah kumpulan benda-benda, artinya untuk menjelaskan dunia kita tidak cukup dengan membuat list tentang apa yang ada seperti: Mobil, laptop, rumah, jendela, telepon dan hal lainnya. Dengan kata lain jika kita membuat list tentang segala hal yang ada di dunia, maka kita masih belum mengetahui secara lengkap tentang dunia.
Bagi Wittgenstein dunia terdiri kumpulan fakta, yang dimaksud fakta adalah suatu peristiwa. Suatu peristiwa adalah kombinasi dari objek-objek serta bagaimana objek-objek itu berelasi. Fakta adalah kaitan objek dengan kualitas, kausalitas, kuantitas, situasi, kondisi, ruang, dan waktu. Kalimat-kalimat berikut ini merupakan contoh-contoh dari fakta yang dimaksud Wittgenstein: Gunung Everest adalah gunung tertinggi di bumi, jendela itu terletak di sebelah kiri kursi, John adalah seseorang yang pintar, a lebih tinggi dari b dan lain-lain.
Itulah fakta-fakta yang menyusun dan memberi tahu kita tentang dunia. Karena apa yang dapat kita ketahui dari pernyataan mobil adalah mobil, John memiliki nama John? Pernyataan-pernyataan ini tidak memberi tahu apa-apa dan tidak membuat mobil dan John ‘lebih nyata’ (White, 2006: 31). Atau bisa kita umpakan bahwa p ∧ (q → r) lebih memberikan gambaran lengkap dibanding proposisi p = p.
Di proposisi 2.02-2.021 Wittgenstein menyatakan tiga proposisi yang cukup penting, yaitu: 1) Objek itu sederhana; 2) setiap pernyataan kompleks bisa dianalisis atau diurai menjadi pernyataan-pernyataan sederhana yang menyusun pernyataan kompleks tersebut; 3) objek membentuk substansi dunia (Wittgenstein, 2001: 7).
Apa maksud dari ketiga proposisi di atas? Berikut penjelasannya: pertama-tama kita perlu mengetahui dulu apa itu pernyataan atau proposisi kompleks. Untuk memudahkan pemahaman, proposisi kompleks adalah proposisi yang memiliki kata hubung “dan”, “jika maka”, “atau”, “jika dan hanya jika”. Semisal terdapat sebuah proposisi kompleks “a & b”. Untuk menentukan kebenaran dan kebermaknaan proposisi itu, pertama-tama kita perlu mengurai dengan cara memisahkan antara “a” dan “b”.
Setelah dipisahkan, misalnya kita coba tentukan apakah “a” mempunyai referensi pada kenyataan atau tidak, dan hal serupa dilakukan terhadap “b”. Persoalannya adalah ketika Wittgenstein tidak mengandaikan adanya objek sederhana yang sekaligus menjadi substansi dunia, maka akan terjadi dua kemungkinan: infinite regress atau sirkular.
Bagaimana bisa muncul dua kemungkinan tersebut? Objek sederhana dalam konteks ini berfungsi untuk menentukan kebenaran proposisi sederhana seperti contoh “a” dan “b” tadi. Andaikan tidak ada objek sederhana, maka untuk menentukan kebenaran “a” kita perlu tahu dulu kebenaran proposisi “c”, untuk menentukan kebenaran “c” kita perlu tahu dulu kebenaran proposisi “d” begitu seterusnya-infinite regress (Proops, 2017). Atau untuk menentukan “a” kita perlu tahu dulu kebenaran “c”, untuk menentukan kebenaran “c” kita perlu tahu dulu “d”, namun untuk mengetahui “d” kita perlu tahu dulu kebenaran “a”- dengan kata lain sirkuler.
Poin yang ingin disampaikan di sini adalah pengandaian adanya objek sederhana dilakukan supaya memperoleh analisis yang sempurna dan lengkap. Lengkap dalam arti setiap proposisi sederhana hanya mewakili satu keadaan faktual saja (proposisi yang memiliki acuan pada kenyataan). Dengan adanya pengandaian objek sederhana ini, analisis diharapkan bisa sampai pada proposisi yang memiliki makna tertentu, pasti, khusus dan terbatas (Kaelan, 2020: 94).
Pembahasan tentang objek sederhana ini merupakan salah satu momen di mana Wittgenstein dan Russell berbeda pendapat. Russell berada pada posisi yang menyadari bahwa bisa jadi analisis dapat berlangsung “selamanya” dan hal-hal yang kompleks bisa dianalisis secara ad infinitum. Apa yang dianggap sederhana pun sebagai hasil dari analisis atas proposisi kompleks bisa jadi tersusun oleh hal yang kompleks juga (Klement, 2019). Selain itu, dalam pemikiran Russell sesuatu yang sederhana biasanya berkaitan dengan data-data yang diperoleh lewat pancaindra dan dinyatakan dalam bentuk proposisi “ini meja”, “itu buku”.
Tidak seperti Russell, Wittgenstein tidak memberikan contoh dan penjelasan lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya ia maksud ketika membicarakan objek itu sederhana. Terkait hal ini, ada satu interpretasi yang menyatakan bahwa sesuatu proposisi dikatakan belum memiliki makna yang pasti dan terbatas jika dan hanya jika proposisi ini memiliki lebih dari satu kemungkinan supaya proposisi tersebut benar. Misalnya proposisi x yang berbunyi “Jokowi berada di suatu tempat di Indonesia” (Proops, 2017).
Mengapa proposisi x memiliki lebih dari satu kemungkinan? Karena ketika seseorang berkata “Jokowi berada di Jakarta” maka proposisi x bisa jadi benar; lalu ada orang lain yang berkata bahwa “Jokowi berada di Medan”, maka proposisi x bisa jadi memang benar dan lain-lain. Poinnya berarti proposisi x memiliki lebih dari satu kemungkinan untuk membenarkan proposisi tersebut. Interpretasi di atas dengan kata lain menunjukan bahwa analisis dikatakan telah sampai pada apa yang disebut sebagai objek dan proposisi sederhana ketika proposisi tersebut tidak memiliki lebih dari satu kemungkinan supaya proposisi itu dikatakan benar.
Russell merupakan salah seorang yang memberikan tafisran terkait pembahasan objek sederhana. Dalam kata pengantarnya di buku Tractatus, Russell menafsirkan bahwa objek sederhana yang dimaksud Wittgenstein serupa dengan proposisi atomik. Proposisi atomik adalah proposisi yang merujuk pada fakta atomik. Contoh proposisi atomik misalnya “ini adalah merah” atau xRy (ini berdiri di samping itu) (Mustansyir, 2007: 59)
Tidak ada jawaban pasti mengenai tafsiran mana yang benar. Karena Wittgenstein memang sengaja tidak memberikan contoh dan penjelasan spesifik tentang hal itu. Sejauh ini informasi yang kita ketahui adalah, adanya objek sederhana yang diandaikan Wittgenstein memungkinkan untuk melakukan analisis secara lengkap dan menghindari terjadinya analisis secara sirkuler ataupun infinite regress.
2. Teori Gambar
Setelah menjelaskan tentang struktur dunia, kini tiba saatnya untuk menjelaskan tentang bagaimana hubungan bahasa dengan dunia. Teori gambar merupakan pemikiran Wittgenstein yang berupaya menjelaskan hubungan bahasa dan dunia serta menunjukan sejauh mana suatu proposisi dikatakan bermakna dan tidak bermakna.
Berikut adalah proposisi-proposisi yang diungkapkan Wittgenstein terkait teori gambar (Wittgenstein, 2001: 23-25):
4.01) A proposition is a picture of reality (Proposisi adalah gambar dari realitas).
4. 022) A proposition shows its sense. A proposition shows how things stand if it is true (Proposisi menunjukan artinya. Proposisi menunjukan bagaimana objek-objek itu berada, jika proposisi itu benar).
4. 023) A proposition must restrict reality to two alternatives: yes or no. In order to do that, it must describe reality completely (Sebuah proposisi harus membatasi realitas pada dua alternatif: ya atau tidak. Untuk melakukan itu proposisi harus menggambarkan realitas secara lengkap).
Karena dunia itu terdiri dari fakta-fakta, maka proposisi harus merujuk pada fakta-fakta tersebut. Ketika proposisi tersebut merujuk pada fakta (pada keadaan aktual/merujuk pada kenyataan) maka proposisi tersebut adalah benar dan proposisi tersebut bernilai salah jika berlaku sebaliknya. Hanya ada dua alternatif: apakah proposisi tersebut merujuk pada fakta atau tidak (Grayling, 2001: 40).
Secara spesifik Wittgenstein menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu proposisi itu bernilai benar atau tidak kita harus mengurainya terlebih dahulu proposisi itu menjadi proposisi elementer. Setelah diuraikan menjadi proposisi elementer, langkah selanjutnya adalah membuat apa yang disebut sebagai fungsi kebenaran. Sebagaimana yang Wittgenstein nyatakan dalam Tractatus (Wittgenstein, 2001: 36, 37, 43):
5) A proposition is a truth-function of elementary propositions (Proposisi adalah fungsi kebenaran dari proposisi elementer).
4. 21) The simplest kind of proposition, an elementary proposition, asserts the existence of a state of affairs (Proposisi yang paling sederhana, yaitu sebuah proposisi elementer, menegaskan fakta atomik).
4. 25) If an elementary proposition is true, the state of affairs exists; if an elementary proposition is false, the state of affairs does not exist (Jika sebuah proposisi elementer benar, maka berarti fakta atomik yang digambarkannya memang ada; jika proposisi elementer itu salah maka berarti fakta atomik tidak ada).
Berikut adalah contoh terkait tabel kebenaran:
P | Q | P & Q | P V Q |
B | B | B | B |
B | S | S | B |
S | B | S | B |
S | S | S | S |
Kita misalkan terdapat sebuah proposisi konjungsi: P & Q = hari ini hujan dan saya diam di rumah. Maka untuk menentukan kebenarannya kita perlu mengetahui nilai P (hari ini hujan) dan nilai Q (saya diam di rumah). Dari tabel di atas kita mengetahui bahwa proposisi konjungsi bernilai benar jika kedua proposisi elementernya bernilai benar. Contoh kedua, misalkan terdapat sebuah proposisi disjungsi: P V Q = hari ini hujan atau saya diam di rumah. Tabel di atas menunjukan proposisi disjungsi dikatakan salah jika kedua proposisi elementernya salah.
Penentuan benar salahnya proposisi elementer didasarkan pada apakah proposisi elementer ini merujuk pada kenyataan aktual atau tidak. Jadi ketika disebutkan bahwa ‘P’ atau hari ini hujan bernilai benar, maka hal itu terjadi karena kenyataannya memang menunjukan demikian. Dalam masalah menganalisis proposisi kompleks menjadi proposisi elementer, Wittgenstein mendapatkan pengaruh tersebut dari Russell. Keduanya sama-sama mengurai proposisi kompleks menjadi proposisi elementer atau proposisi atomik dalam istilah Russell. Atas dasar ini keduanya juga sering dilabeli sebagai atomisme logis.
Sejauh ini teori gambar telah menunjukan bagaimana cara kerja bahasa dan hubungan antara bahasa dan dunia. Teori gambar ini pada intinya ingin mengatakan bahwa bahasa bekerja dengan cara merepresentasikan dunia atau hal-hal yang diungkapkan oleh bahasa memiliki rujukan pada dunia. Lantas pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan terjadinya hal itu?
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah adanya kesamaan struktur antara bahasa dan dunia. Ketika kita melihat gambar, maka kita akan melihat kesamaan dengan kenyataan dengan yang mereka gambarkan (Grayling, 2001: 42-43) . Cara kerja itu mirip seperti bahasa dan oleh karenanya pemikiran ini disebut teori gambar.
Apa yang dimaksud dengan kesamaan struktur? Ilustrasinya seperti ini: misalkan ada seseorang yang ingin melukis atau menggambar ‘laptop yang berada di atas meja dan terletak di sebelah kanan lemari’. Isi dari lukisan tersebut pasti berisi struktur apa yang ingin dilukisnya. Stuktur dalam konteks ini bisa dipahami sebagai relasi. Laptop di atas meja menunjukan relasi antara laptop dan meja; laptop dan meja yang terletak di sebelah kanan menunjukan relasi antara laptop, meja, dan lemari; belum lagi jika kita memperhatikan jarak antar benda tersebut, yang berarti di dalamnya ada relasi kuantitas dan lain sebagainya.
3. Logika: Tautologi dan Kontradiksi
Melalui pemaparan teori gambar kita mengetahui bahwa bahasa bekerja dengan cara memotret atau menggambarkan realitas. Karena cara kerjanya yang demikian, kita perlu menentukan terkait apakah proposisi ini menggambarkan realitas atau tidak, penentuan tersebut dilakukan melalui fungsi kebenaran. Fungsi kebenaran memuat dua kemungkinan dari sebuah proposisi: yaitu antara proposisi itu benar atau salah.
Namun, ada satu kasus di mana dua kemungkinan itu tidak ada. Kasus ini lebih dekat dengan persoalan teknis dalam kajian logika. Kasus ini mengacu pada pernyataan Wittgenstein di proposisi 4.46 perihal dua kasus ekstrem, yaitu: pertama, proposisi yang benar untuk semua kemungkinan kebenaran dari proposisi elementer dan ini disebut proposisi tautologis; kedua, proposisi yang salah untuk semua kemungkinan kebenaran dan ini disebut proposisi kontradiktori.
Fungsi kebenaran proposisi tautologis:
Misalnya proposisi tautologis: Hari ini hujan atau hari ini tidak hujan (p v ⌐ p)
P | ⌐ p | p v ⌐ p |
B | S | B |
S | B | B |
Seperti yang tercantum dalam tabel di atas, proposisi tautologi merupakan proposisi yang selalu bernilai benar. Mengapa itu bisa tautologi, didasarkan pada nilai kebenaran proposisi negasi dan proposisi disjungtif
Proposisi negasi:
p | ⌐ p |
B | S |
S | B |
Proposisi disjungtif:
p | q | p ∨ q |
B | B | B |
S | B | B |
B | S | B |
S | S | S |
Fungsi kebenaran proposisi kontradiktori
Misalnya proposisi kontradiktori: hari ini hujan dan hari ini tidak hujan (p & ⌐p)
p | ⌐ p | p & ⌐ p |
B | S | S |
S | B | S |
Tabel di atas menunjukan bahwa proposisi kontradiktori merupakan proposisi yang selalu bernilai salah. Kesimpulan bahwa proposisi kontradiktori selalu bernilai salah diperoleh melalui cara yang sama dengan proposisi tautologis. Yang membedakan hanyalah proposisi tautologis diperoleh dari fungsi kebenaran negasi dan disjungsi, sedangkan proposisi kontradiktori diperoleh dari fungsi kebenaran proposisi negasi dan konjungsi.
Perlu diperhatikan bahwa proposisi tautologis dan kontradiktori merupakan proposisi yang tidak bermakna. Kedua proposisi ini tidak merujuk dan sekaligus tidak menggambarkan apapun tentang dunia (Anat Biletzki, 2021). Dalam konteks logika, kedua proposisi ini hanya berbicara tentang validitas, bukan tentang validitas dan keandalan sebagaimana dalam teori gambar tadi.
Ambil contoh penalaran berikut:
Semua manusia memiliki dua sayap untuk terbang
John adalah manusia
Oleh karena itu, John memiliki sayap untuk terbang
Dilihat dari segi hubungan antar premisnya, penalaran ini valid karena sesuai kaidah logika. Penalaran ini valid namun tidak andal. Tidak andal dalam pengertian premis pertama dan kesimpulannya bertentangan dengan kenyataan aktual. Ilustrasi ini serupa dengan kasus proposisi tautologi dan kontradiktori tadi.
4. Penutup
Melalui teori gambar Wittgenstein sebetulnya sudah terang-terangan ingin mengatakan bahwa pembicaraan dan pemikiran apapun itu ketika tidak mengacu pada dunia yang terdiri dari fakta-fakta, maka pembicaraan tersebut tidak bermakna sama sekali. Ketika suatu ungkapan tidak mengacu pada fakta, maka ungkapan tersebut tidak menggambarkan apapun. Ungkapan-ungkapan apa saja yang tidak bermakna itu? Biasanya ungkapan-ungkapan yang berada dalam wilayah ketuhanan, agama, etika, dan nilai.
Bagaimana sikap kita di hadapan wilayah-wilayah yang berisi ungkapan-ungkapan tidak bermakna itu? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita temukan di proposisi terakhir (proposisi 7) buku Tractatus. Wittgenstein berkata “tentang apa yang tak bisa dikatakan, seharusnya kita diam”. Apakah pada akhirnya upaya yang Wittgenstein berhasil? Berhasil dengan catatan.
Di proposisi 6.54 ia berkata “orang yang memahami saya pada akhirnya akan mengetahui bahwa proposisi-proposisi tersebut tanpa arti, ketika orang itu sudah menggunakan proposisi-proposisi itu sebagai jalan setapak untuk melampauinya”. (bisa dibilang dia harus membuang tangga itu ketika tangga itu sudah dipanjat). Dia harus melampaui proposisi-proposisi tersebut barulah dia bisa melihat dunia dengan benar. Inilah catatan yang dimaksud.
Referensi
Biletzki, Anat and Anat Matar, “Ludwig Wittgenstein”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.).
Grayling, A. C. (2001). Wittgenstein: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
Kaelan. (2020). Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermenutika. Yogyakarta: Paradigma.
Klement, K. (2019, October 14). Russell’s Logical Atomism. Retrieved from Stanford Encyclopedia of Philosophy : https://plato.stanford.edu/entries/logical-atomism/#LogiAtomSimp
Mustansyir, R. (2007). Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Proops, Ian, “Wittgenstein’s Logical Atomism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2017 Edition), Edward N. Zalta (ed).
White, R. M. (2006). Wittgenstein’s Tractatus Logico-Philosophicus: Reader’s Guide. New York: Continuum.
Wittgenstein, L. (2001). Tractatus Logico Philosophicus, ed Routledge & Kegan Paul. London: Routledge.