Wacana Estetika dan Ketakberbatasannya
Dalam skema alur kerja seni, seniman menjadi subjek yang cukup sentral dalam suatu peristiwa seni. Tak dapat dipungkiri bahwa suatu karya tak akan tampil ke muka tanpa adanya sang seniman. Meskipun bukan hanya persoalan karya saja, akan tetapi ada alur-alur kerja seni yang lain memang cukup penting—seperti proses kreatif, proses komunikasi, publik seni, proses apresiasi, dan proses evaluasi. Namun, hal utama lainnya ialah keterkaitan antara seniman dan kebebasan. Seniman selalu identik dengan kebebasan berkesenian. Kebebasan eskpresi berkesenian tersebut sejalan dengan apa telah seniman lakukan, seniman dapat mencipta, membayangkan, juga mengalihwahanakan ekspresinya ke dalam karyanya, sehingga senimanpun dapat berkarya dengan sebebas-bebasnya tanpa batasan sedikitpun.
Akan tetapi, pada praktiknya masih saja terdapat pembatasan kebebasan ekspresi berkesenian, baik itu pembatasan secara moral, sosial, politik, agama, hingga institusi seni. Pada tulisan ini, kita akan melihat lebih mendasar lagi, dengan mempertanyakan kembali kebebasan berekspresi itu sendiri. Bagaimana posisi seniman atau publik seni yang memiliki ekspresi seni selalu dikonotasikan dekat dengan kebebasan atau ketakberbatasan. Ada semacam pembebasan ekspresi seni yang menolak segala bentuk pembatasan; pembatasan moral, sosial, politik, agama hingga institusi seni itu sendiri. Namun, apakah mungkin ada seni dan ekspresi seni atau ekspresi estetik yang tak memiliki batas, tapal batas, dan pembatasan?
Definisi Estetika dan Keluasannya
Persoalan mengenai estetika selalu mendapat jalan panjang dalam menjelaskan bagaimana tepatnya “estetika”. Banyak para filsuf atau pemikir estetika yang berusaha untuk mendefinisikan estetika, sehingga hal tersebut menjadikan banyak sekali perdebatan dalam pendefinisian ‘estetika’. Seperti halnya salah seorang sejarawan Martin Suryajaya (2016) membentangkan sejarah estetika dari periode prasejarah hingga pascamodern, tetapi sebagai sebuah ilmu disiplin, ia baru muncul pada abad ke-18. Dalam upaya untuk memberikan kejelasan pada tulisan ini, kiranya perlu memberikan suatu pendefinisian bagi ‘estetika’—meski pendefinisian yang dilakukan tak mengklaim sepenuhnya akurat.
Istilah “estetika” yang berasal dari kata sifat ‘aisthētikós’, yang berarti ‘berkenaan dengan persepsi indrawi’. Ia diturunkan dari kata benda ‘aisthētis’yang berarti ‘persepsi’ atau indrawi’ (Piliang, 2022: 6). Dalam kajian ilmu disiplin, istilah estetika pertama kali digunakan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) dalam Meditation philosophicae de nonnullis ad poema pertinentibus (Renungan Filosofis tentang Beberapa Hal yang Terkait dengan Puisi) pada 1735, Baumgarten memperkenalkan istilah estetika sebagai kajian filosofis tentang keindahan perseptual (Goldman dalam Suryajaya, 2016: 2). Dibawah bayang-bayang Rasionalisme Cartesian yang berkembang pada saat itu, Baumgarten dalam renungan-nya meneruskan distingsi Yunani antara noesis dan aisthesis, Baumgarten memilah dua jenis pengetahuan: cognitio intellectiva dan cognitio aesthetica. Jenis pengetahuan yang kedua inilah yang dikenal dengan aesthetica (Suryajaya, 2016: 2)
Diskursus mengenai estetika sebagai filsafat kesenian telah ada sejak era Yunani antik, kecenderungan estetika yang ada pada era Yunani antik ialah konsepsi tentang seni sebagai ‘teknik’, seni yang ‘rasional’, dan seni sebagai mimesis. Plato (427-347 SM) seringkali dipandang sebagai salah seorang pemikir estetika pertama yang memberikan penjelasan komprehensif mengenai seni, salah satunya ditandai dengan pemikirannya tentang seni sebagai ‘tiruan’ (mimesis). Konsep mimesis tersebut lahir dari suatu pengandaian metafisik bahwa ada hirearki realitas antara objek alamiah dan objek artistik (Taufiqurahman dalam Piliang, 2022: 9). Artinya estetika sebagai filsafat seni bukan hanya membatasi dirinya pada persoalan karya seni saja, akan tetapi nilai—keindahan, kesetangkupan, kesubliman—yang ada pada objek yang non-artistikpun dapat diidentifikasi oleh wacana estetika ini.
Meluasnya pendefinisian dalam kajian estetika ini dirangkum oleh Jerrold Levinson (2005) menjadi tiga fokus, yaitu seni, sifat estetik, dan pengalaman estetik. Levinson lantas memberikan definisi yang lebih mencakup tentang estetika, yaitu estetika sebagai cabang filsafat yang membahas dimensi filosofis karya seni dan juga membahas sifat estetik serta pengalaman estetik baik yang berkaitan dengan objek-objek artistik maupun nonartistik (Taufiqurahman dalam Piliang, 2022: 9).
Cara kerja yang dilakukan oleh para pemikir estetika dari zaman Yunani Antik hingga Modern ialah melakukan sutau pengklasifikasian terhadap penilaian-penilaian estetik terhadap objeknya. Seperti misalnya penilaian karya seni yang indah atau buruk, tinggi atau rendah, adiluhung atau kerakyatan, bahkan hinga seni atau nonseni. Hal tersebut sampai pada perkembangan seni kontemporer yang meluluhlantahkan persoalan mengenai klasifikasi nilai estetik, tak ada lagi pembedaan antara karya seni yang baik dan yang buruk, yang tinggi dan yang rendah, yang adiluhung dan kerakyatan, juga seni dan nonseni. Dengan meleburnya pengklasifikasian penilaian-penilaian estetik tersebut, maka lahirlah apa yang nantinya akan disebut sebagai “trans-estetika”.
Kecenderungan dari transestetik ini hadir pada beberapa karya seni kontemporer yang memiliki corak pastiche, parodi, kitsch, camp, atau skizofrenik (Taufiqurahman dalam Piliang, 2022: 11). Corak-corak tersebut menjadi semacam kekuatan baru bagi seni kontemporer untuk membabad habis distngsi antara karya seni yang baik dan buruk, yang tinggi dan yang rendah, yang adiluhung dan kerakyatan, juga seni dan nonseni.
Karya seni berbentuk instalasi karya Marcel Duchamp (1887-1968) menjadi karya seni yang paling awal dalam mengekspresikan kecenderungan transestetik ini. Pada tahun 1917, Duchamp membeli sebuah tempat kencing berbahan porselen dari sebuah toko bangunan di Kota Newyork. Setelah itu ia mendaftarkan tempat kencing itu dengan nama Fountain ke sebuah pameran yang diselenggarakan oleh Society of Independent Artist. Duchamp hanya membalik tempat kencing itu 90 derajat dari posisi semula dan hanya memberikan semacam tanda tangan atau tulisan “R. Mutt 1917”. Namun, karya instalasi tersebut tidak diterima oleh pihak penyelenggara dari pameran tersebut, dengan alasan bahwa karya instalasi Duchamp “bukan karya seni”. Meski tak dipamerkan di galeri, karya instalasi tersebut tetap mendapat perhatian karena difoto oleh Alfred Stieglitz dan dipublikasikan di majalah The Blind Mind, dan karya instalasi Duchamp tersebut dibela oleh kelompok seniman Dadais sebagai karya seni dan meyakininya bahwa karya tersebut telah membuka cakrawala baru seni kontemporer.
Melihat karya instalasi di atas mengindikasikan bahwa persoalan mengenai seni atau nonseni bukanlah persoalan yang mesti diutamakan, bukan lagi memperhatikan nilai artistik dan estetik, karena apa saja dapat menjadi karya seni, sejauh karya seni itu memberikan suatu interpretasi intelektual dan kita—seniman atau publik seni—dapat memberikan penafsiran secara artistik atau estetik terhadap objek tertentu. Hal tersebut merupakan indikasi dari kecenderungan transestetik di era seni kontemporer ini.
Batas dan Pembatasan Estetika
Bentuk ekspresi dalam seni kiranya sangat erat kaitannya dengan suatu kebebasan dan ketakberbatasan, yang mana seniman atau publik seni dapat secara bebas melakukan aktivitas-aktivitas berkesenian, seniman berkarya dengan sebebas-bebasnya dan publik seni dapat menafsir karya seni dengan sebebas-bebasnya pula. Ada semacam upaya untuk melakukan suatu pembebasan seni secara otonom, membebaskan seni dan keluar dari pembatasan secara moral, politik, sosial, agama bahkan institusi seni itu sendiri.
Berangkat dari pertanyaan yang telah dilontarkan di muka—Apakah mungkin ada seni dan ekspresi seni atau ekspresi estetik yang tak memiliki batas, tapal batas, dan pembatasan? — Para pemikir estetika selalu berusaha untuk melakukan suatu pembatasan-pembatasan dalam seni, baik itu batasan secara formal, moral, sosial, politik hingga ekonomi. Hal tersebut memberikan pengandaian bahwa ekspresi estetik itu tidak lahir dari ruang hampa, akan tetapi ia justru hadir ditengah-tengah masyarakat, negara-bangsa, kebudayaan bahkan agama.
Oleh karena itu, penting juga kiranya dalam melihat pandangan menganai batas, tapal batas, dan pembatasan. Batas (limit) secara definitif menjelaskan titik atau garis terjauh yang dapat dicapai oleh sebuah entitas, proses atau pergerakan, seperti misalnya melihat batas pandangan, batas horizon, atau batas pikiran. Melampaui batas terjauh itu berarti melewati kapasitas, kemampuan, sifat, kodrat atau sifat alamiah. Sesuatu yang melampaui batas-batas atau titik terjauh itu berarti bergerak melampaui batas (beyond, hyper) (Piliang, 2022: 27)
Tapal batas membatasi dua atau lebih entitas di dalam skala ruang, seperti tapal batas wilayah, tapal batas negara, tapal batas desa. Menyibak tapal batas berarti melakukan proses pencairan sekat, pendekonstruksian benteng, penghancuran tembok pemisah perlintasan batas-batas (trans). Tapal batas sangat menentukan model-model segmentasi—geologis, sosial, mental, kultural—ruang yang dibaginya (Piliang, 2022: 27).
Di dalam sistem segmentasi konservatif, institusi seni mempunyai otoritas dalam menjaga keutuhan garis-garis batas. Misalnya institusi seni selalu menjaga garis batas antara seni dan nonseni atau dengan kitsch. Akan tetapi, garis batas-batas tersebut di era sekarang ini cenderung bersifat lentur, fleksibel, terbuka dan dinamis. Hal tersebut membuka kemungkinan lain bagi berbagai permainan eksrpesi seni secara bebas, pencampuran, hibridisasi, dan amalgamisasi di dalamnya.
Melampaui Batas Estetika
Dalam berbagai ekspresi estetik, berbagai upaya secara berkala banyak dilakukan untuk mendobrak tapal batas, melampaui segala batas, dan menolak segala bentuk pembatasan—pembatasan politik, ekonomi, kultural, dan keagamaan). Melampaui batas (beyond) artinya melampaui titik terjauh dari sebuah entitas, proses, sistem atau pergerakan. Dengan melampauinya terbentuk titik ekstrem, superfisial, dan hiper. Melampaui tapal batas artinya melintasi garis batas yang menggiring pada proses pembebasan, pencampuran, hibridisasi, dan amalgamisasi. Dalam hal ini melampaui batas menunjukan proses dekonstruksi batas-batas, membuka segala kemungkinan dan signifikansi atau pemaknaan baru. Menolak pembatasan artinya menolak segala determinasi eksternal terhadap ekspresi estetik itu sendiri (Amir Piliang, 2022: 30).
Dengan melawati tapal batas, dua entitas seniman atau publik seni dapat membuka diri bagi proses pencampuran, pelintasan, atau dialog. Pelampauan tapal batas itu dalam rangka pelonggaran, pelenturan, bahkan peleburan. Garis segmentasi yang kaku dapat dilenturkan oleh proses trans-kultural, trans-estetik atau trans lainnya. Persilangan lintas disiplin tersebut menggiring pada suatu bentuk hibridisasi. Hibridisasi adalah proses penciptaan atau replikasi dari bentuk-bentuk mutan melalui perkawinan silang, yang menghasilkan campuran yang tak lagi utuh, meski tetap memiliki unsur alamiah dari dua unsur yang dikawinkan tersebut (Piliang, 2022: 30).
Persilangan antara dua unsur kebudayaan tersebut menghasilakan pembentukan kategorisasi yang baru, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Misalnya persilangan antara seni dan sains akan menghasilkan suatu saintifikasi seni. Persilangan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu istilah transkultural; campuran dari berbagai unsur-unsur yang tak lagi memiliki keutuhan karena telah melalui berbagai proses persilangan, pencampuran, atau hibridisasi.
Sebagai salah satu contoh dari persilangan antara dua unsur diatas ialah hubungan antara seni dan sains, termasuk teknologi. Seni memiliki peranan yang cukup penting bagi sains dan teknologi, teknologi selalu membutuhkan aktivitas artistik dari ekspresi seni, untuk menciptakan perencanaan imajinatif. Seperti dalam pembuatan desain teknologi komputer, internet, atau sosial media, yang sangat membutuhkan media komunikasi visual, desain, atau perencanaan artistiknya. Begitu pula sebaliknya, seni juga selalu membutuhkan teknologi. Teknologi dapat berperan—meminjam istilah Bambang Sugiharto—ekstensif, reflektif dan politis bagi seni (Sugiharto, 2015: 23). Ekstensif artinya seni dapat memperluas kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh seni, seperti membuat patung berbasis artifisial intelegence, seni multi-media, seni video dst. Reflektif artinya membuka kemungkinan teknologi bagi seni, dengan mempertanyakan ulang makna seni yang terus menerus berubah. Dan politis artinya bagi seni membuka sebuah kemungkinan untuk melakukan siasat desain atau pencitraan digital.
Berdasarkan contoh di atas dapat kita banyangkan bahwa persilangan antara dua unsur dapat menghasilakn suatu pembentukan hibridisasi yang baru. Baik seni ataupun sains berusaha untuk melampaui tapal batas atau pembatasan yang ada pada dirinya, yang pada akhirnya justru lahir suatu bentuk trans-estetik yang baru dan melampaui ekspresi estetik yang konservatif.
Simpulan
Wacana estetika sejatinya memang memberikan suatu keluasan tersendiri dalam kajiannya, disamping terdapat pula bentuk batas, tapal batas juga pembatasannya. Akan tetapi di era kontemporer ini, segala bentuk pembatasan bagi ekspresi estetik—yang didalamnya terdapat subjek estetis dan objek estetis— kiranya mesti mendapatkan suatu demokratisasi estetik bagi kebebasan ekspresi ekstetiknya. Transestetik membuka cakrawala seni dengan seluas-luasnya dengan cara menghadirkan suatu bentuk perlintasan baru bagi ekspresi estetik dan menghadirkan pula bentuk pelampauan (beyond) bagi ekspresi estetiknya.
Transestetik menjadi salah satu jalan yang liyan dan didalamnya terdapat demokratisasi estetik—meski masih banyak hal lain dalam transestetik ini, seperti repetisi, kebaruan, permainan bahasa, identitas, transhorizon dst.—yang berbicara tentang kebebasan, kesetaraan, keadilan, hak, kewajiban, tanggung jawab bagi pelaku seni. Upaya yang dilakukan oleh seniman atau publik seni tersebut demi melepaskan diri pengkotak-kotakan secara kultural, sosial, politik, ekonomi, hingga agama. Meski hal ini terkesan sangat dilematis, kelompok yang mengharuskan seni terbebas dari pengkotak-kotakan, mereka tak lebih dari pendukung ideologi totalitarianisme. Bagitu pula sebaliknya, kelompok yang tetap beranggapan bahwa seni tidak boleh bebas atau tidak memberi kebebasan estetik bagi kelompok yang lain, mereka juga akan dicap tidak memiliki sikap demokratisasi estetik. There’s no solution, because there’s no problem.
Daftar Pustaka
Hauskeller, Michael. (2015). Seni-Apa itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto. Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf. Amir. (2022). Transestetika I. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Sugiharto, Bambang. (2015). Untuk Apa Seni? Bandung: Matahari.
Suryajaya, Martin. (2016). Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel.